Jumat, 21 Desember 2012

KEKUDUSAN DALAM RUMAH TANGGA



                                                              

Pernikahan merupakan ide dan inisiatif Tuhan, dengan kata lain bahwa Tuhan memiliki rencana yang besar atas setiap pernikahan. Ketika kita menyadari bahwa pernikahan merupakan ide dan inisatif Allah maka tidak pantas untuk kita mempermainkan sebuah pernikahan. Mengutip tulisan Charles R. Swindoll bahwa "dalam pernikahanlah pria dan wanita meninggalkan keluarga mereka masing-masing dan membangun keluarga baru, mereka saling mengabdikan diri bagi pasangan mereka dimana “kelanggengan” menjadi batas waktu mereka dan hanya kematian yang memisahkan mereka. Mereka menjadi satu dalam tujuan dan arah serta dukungan bersama (tidak ada tindakan saling menyerang/menyalahkan satu sama lain melainkan dukungan untuk mencapai visi dari pernikahan mereka). Dan mereka menikmati pengetahuan yang eksklusif dan istimewa tentang satu sama lain, dimana mereka menikmati keintiman dalam sebuah relasi suami istri". [1]
 
Kita bisa melihat bahwa pernikahan adalah sebuah keunikan dan di dalamnya Tuhan ingin mencurahkan berkat-berkatNya, manifestasi kerajaan-Nya dan kehadiran-Nya secara pribadi dalam sebuah pernikahan. Kita perlu menyadari bahwa tujuan dari pernikahan salah satunya adalah untuk menguduskan pasangan kita dan diri kita sendiri. Mazmur 128 menulis bagaimana berkat Tuhan akan mengalir dalam sebuah keluarga dimulai dari suami yang takut akan Tuhan (pria yang mau berkomitmen untuk hidup kudus).  Demikian pula para istri harus hidup saleh, tunduk pada suami, hidup dalam kekudusan supaya suami dimenangkan/dikuduskan pula. (I Petrus 3:1-6). Kita bisa juga melihat bahwa hubungan seks yang dirancang Tuhan bukan sekedar sarana beranak cucu, tapi juga sebagai senjata untuk melawan peselingkuhan dan hawa nafsu (I Korintus 7:1-5) sehingga kekudusan dalam rumah tangga dapat menjadi sebuah hakekat dari pernikahan. 

"Sampai Maut Memisahkan Kita"


                Dari sini kita bisa mengerti bahwa Rancangan Allah atas pernikahan sangatlah indah, bukan sekedar kita mengalami berkat dari pernikahan itu sendiri namun kita dipercayakan untuk memperkenalkan nama Tuhan melalui pernikahan kita dan kita bisa memuridkan keluarga-keluarga lain. Dan iblis tahu bahwa dampak dari sebuah pernikahan yang kudus sangat besar, maka serangan dari si jahat sangat frontal, khususnya hari-hari ini. Melalui apa iblis menyerang pernikahan? Iblis merusak pernikahan melalui KETIDAK-KUDUSAN. Bentuk-bentuk ketidak-kudusan tersebut ada dalam berbagai macam bentuk dan kita harus waspadai bentuk serangan iblis tersebut. Ada 3 bentuk serangan frontal yang iblis kirim kepada pernikahan/rumah tangga, dan ini hanyalah sebagian dari strategi si jahat. Lebih banyak iblis hanya sebagai pencetus sedangkan untuk eksekusi di lapangan adalah manusia itu sendiri. Untuk itu kita perlu mewaspadai dosa yang sedang mengintip rumah tangga kita!

  • WASPADAI GODAAN PERSELINGKUHAN!
Perselingkuhan bisa terjadi kapan pun dan dimana pun asalkan ada celah yang terbuka dalam kehidupan pasangan suami istri untuk dosa perselingkuhan masuk. Namun, ada satu tempat yang harus kita waspadai dimana tempat ini bisa menjadi tempat yang subur bertumbuhnya perselingkuhan yakni di dunia kerja. Hal yang harus dipastikan bagi suami atau istri yang bekerja adalah “Hindari jatuh cinta dengan teman sekerja”.  Tempat kerja merupakan tempat dimana seseorang bisa bersosialisasi dan mengenal banyak orang  bahkan bsia terikat dengan seseorang. Menurut, Dr. Tina Tessina, psikolog dan penulis buku the Unofficial Guide to Dating Again, seperti dilansir theGrindstone.com, mengatakan bahwa bekerja berdampingan dengan seseorang setiap hari, melihat dia tertekan oleh pekerjaan, bersimpati atas masalah dan memberi selamat atas keberhasilannya memberi gambaran tentang si dia sepenuhnya. Akhirnya cinta dapat tumbuh tanpa salah satu pihak benar-benar menyadarinya.[2]
 
Dalam dunia kerja sering terjadi pola kebiasaan berbagi informasi pribadi dengan rekan kerja, sering berbicara panjang lebar, makan siang bersama. Awalnya mungkin  tidak ada hubungan apapun namun, seringkali karena terbiasa bertemu, muncul kekaguman karena cantik atau tampan, pribadinya yang luwes, tegas dalam menghadapi masalah dan sikapnya yang selalu siap untuk mendengarkan keluh kesah sehingga hal-hal ini memunculkan sebuah “rasa”. Perlunya kita membangun kesadaran diri bahwa kita tidak perlu memiliki orang lain karena hal itu akan membahayakan pernikahan kita. Selain itu kita harus bekerja secara profesional karena kita membutuhkan pekerjaan tersebut. Menyadari bahwa konsekuensi dari hancurnya pernikahan selalu yang menjadi korban adalah seluruh orang-orang yang ada dalam keluarga secara khusus pasangan dan anak-anak buah dari pernikahan. Maka kita perlu mengembangkan sikap yang profesional dalam bekerja dan kesadaran diri.

Mungkin tidak dengan teman satu kerja, bisa dengan orang yang baru dikenal melalui media electronic. Bersikaplah bijaksana dan berhikmat dengan akun face book maupun twitter anda, mungkin telpon salah sambung atau cinta lama yang bersemi kembali saat bertemu dengan mantan pacar waktu di jaman sekolah dulu. Secara khusus saat sendirian, merasa sepi dan kita curhat dengan orang lain dan merasa nyambung saat diajak bicara/senasib/dia bisa memahami perasaan kita serta bisa menjadi pendengar yang baik. 

  • WASPADAI PORNOGRAFI!
Sekarang ini dijaman Iptek yang maju dengan pesat, sangat sedikit orang yang menderita penyakit TBC alias Tidak Bisa Computer. Computer sudah ada dimana-mana bahkan dalam kemasan yang cantik dan praktis. Handphone smart penuh dengan fitur-fitur yang memudahkan orang berkomunikasi dan mengetahui semua informasi. Kemajuan tehnologi membuat seseorang mudah mengakses apapun melalui internet termasuk pornografi.  Menjadi sebuah tantangan adalah ketika pornografi masuk ke dalam relasi suami istri, maka dapat dipastikan akan merusak kekudusan pernikahan. Beberapa orang terhubung dengan internet namun tidak dalam kaitannya dengan pekerjaan, justru terperangkap dan bergumul dengan persoalan internet yang kompulsif dimana mereka menjadi kecanduan dengan pornografi. Ada banyak janji kebohongan yang diberikan oleh pornografi dimana pornografi menjanjikan seks yang lebih banyak, seks yang lebih baik,  seks tanpa akhir,  orgasme yang lebih hebat, pengalaman-pengalaman baru, dll. Namun, semakin dalam seseorang terlibat, semakin terikat dan menjadi sulit keluar dari jebakan pornografi tersebut. 
Ada banyak alasan bagi seorang pria terlibat pornografi baik melalui majalah, blue film, phone sex, atau bentuk lainnya. Mereka berkata “pornografi hanya dipakai sebagai referensi saja atau untuk menambah gaya/model dalam melakukan hubungan seks”, “saya menonton blue film untuk menambah gairah saya”, “istri saya sulit dipahami, bahkan sering menolak melakukan hubungan seks, lebih baik saya menonton gambar porno dan melakukan solo seks dan itu praktis”.

William M. Struthers dalam bukunya Wired for Inntimacy (Dirancang untuk Keintiman) mengatakan bahwa “Pornografi mencabut seksualitas manusia dari konteks alaminya yaitu keintiman antara dua insan manusia dan menjadikannya sebuah produk untuk dijual dan dibeli. Dengan merendahkan nilai tubuh manusia dan memperlakukannya sama seperti ketika kita berbelanja di swalayan, pornografi mempromosikan seksualitas seorang manusia sebagai produk untuk dikonsumsi. Produknya, yaitu seksualitas orang lain, dipandang melalui kebutuhan-kebutuhan kita yang sepihak dan egois”.[3]

Kita bisa melihat bagaimana dosa pornografi merusak relasi suami istri, meskipun dengan alasan mereka menonoton blue film bersama-sama sehingga mendapatkan keuntungan bersama. Namun, keintiman dalam seks dengan istrinya akan diukur dengan wanita yang ada di layar. Pengalaman keintiman seksual sebenarnya hanya diperuntukkan bagi suami istri dalam sebuah hubungan yang sehat dan matang dalam ikatan pernikahan yang kudus. Pria yang terlibat pornografi hanya menempatkan istrinya sebagai pelampiasan dari keinginan seksnya dibandingkan pada tujuan utama dari keintiman seksual itu sendiri.

  • WASPADAI KEMARAHAN YANG TERSIMPAN TERHADAP PASANGAN!
Dalam perjalanan sebuah pernikahan, akan selalu dijumpai konflik atau pertengkaran-pertengkaran. Banyak orang mengatakan hal itu sebagai bumbu dalam pernikahan, Namun, jika tidak disikapi dengan baik justru bukan menjadi bumbu pemanis pernikahan, melainkan menjadi senjata perusak pernikahan. Pertengkaran yang tidak disikapi dengan baik selalu meninggalkan kemarahan yang tidak terselesaikan bahkan terpendam. Akumulasi dari semua kemarahan suatu saat akan meledak dan daya ledaknya bisa membuat kerusakan yang parah dalam rumah tangga. Dalam pernikahan, harus diwaspadai untuk tidak meyimpan kemarahan berhari-hari. Paulus dalam tulisannya di Efesus 4:26-27 “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari tebenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada iblis”. 

Alkitab tidak melarang kita marah tapi tantangannya adalah jangan sampai kemarahan kita menghasilkan dosa. Kemarahan yang tersimpan berhari-hari bahkan berminggu-minggu membuat dosa semakin bekerja lebih efektif sehingga pasangan suami istri semakin kecewa dan semakin kepahitan satu sama lain. Ada istri yang mampu mendiamkan suaminya berhari-hari atau juga kebalikannya suami mendiamkan istri dan menolak untuk berkomunikasi dan anehnya mereka menganggap hal ini merupakan hal yang biasa, bukan sesuatu yang berbahaya. Suami isti harus menyadari bahwa sikap “mendiamkan” pasangan justru semakin “memiskinkan komunikasi” dan hal itu akan semakin membuat suami isti akan “mind reading”, berasumsi pada pasangan sehingga akan lebih memunculkan pikiran-pikiran negatif dari pada pikiran yang positif dan akhirnya terjadi kesalah-pahaman terus-menerus. Suatu hubungan yang awalnya manis, kemudian berakhir menjadi pahit. Kita bisa melihat bagaimana kemarahan, kekecewaan, kepahitan  yang tidak dikelola dan dibereskan dengan baik mengantar pasangan suami istri pada perceraian (mungkin tidak perceraian secara hukum tapi bisa juga perceraian secara emosi).




Beberapa tips untuk menjalani pernikahan dengan baik sehingga kekudusan tetap menjadi keutamaan dalam rumah tangga:
  • Suami istri harus mengembangkan keintiman relasi suami istri, baik keintiman fisik, sosial, emosi, spiritual
  • Suami-istri harus peka terhadap dosa dan segera membereskan/tidak memberi celah bagi dosa untuk merusak perkawinan. Selalu menyediakan stok pengampunan dalam perkawinan.
  • Suami istri harus sepakat untuk bersama-sama merawat perkawinannya dengan mengembangkan komunikasi yang kuat, mengembangkan kualitas kasih tanpa syarat, dan mempertajam visi pernikahan.
  • Suami istri bertanggung jawab dalam menjalankan perannya masing-masing dan kompak dalam mendidik anak bersama-sama.
  • Suami istri menutup rapat-rapat dan tidak memberi celah sedikit pun terhadap “siasat si jahat” yang berusaha menaburkan ketidak-kudusan. Menjadi bijak dalam bergaul dengan teman-teman secara khusus teman lawan jenis (cara bergaul orang yang sudah menikah harus berbeda dengan kondisi waktu masih belum menikah). Siasati dengan bijak dalam pemakaian internet sehingga tidak terperangkap dalam dosa pornografi.




[1] Swindoll, Charles R. Pernikahan Sebuah Surga Dunia. Jakarta: Metanoia, 2010, h. 45
[2] Parents Guide, oktober 2012, h. 32
[3] Struthers, William M. Wired For Intimacy (Dirancang untuk Keintiman), Surabaya: Perkantas, 2012. H. 16

Kamis, 20 Desember 2012

MENGELOLA EMOSI




Jika kita menonton berita di telivisi maupun membaca koran, kita akan mendapati setiap hari ada berita kekerasan, entah itu verbal maupun fisik (dari pemukulan sampai pada pembunuhan), ada pula berita tentang tawuran pelajar maupun tawuran antar kelompok masyarakat. Orang menjadi mudah sekali terperangkap pada kemarahan yang tidak terkontrol sehingga melukai orang lain. Kompleksitas persoalan manusia ditopang oleh angka kemiskinan semakin memperkuat orang-orang mulai kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Namun yang menjadi akar persoalannya adalah hilangnya kemampuan manusia dalam mengelola emosinya. Kemampuan ini yang disebut oleh Daniel Goleman sebagai kecerdasan  emosi, dimana seseorang mampu mengelola emosinya dengan baik. 




Orang-orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, akan terlihat dengan ciri-ciri: memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.[1]

Saya berpikir bahwa  ini adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi masyarakat hari ini, untuk menjadi cerdas  secara emosi bukan hanya cerdas secara spiritual maupun secara intelektual. Karena tanpa memiliki kemampuan mengelola emosi, seseorang yang pintar/cerdas sekalipun akan terlihat menjadi bodoh ketika terperangkap dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak. Kecerdasan akademis sedikit sekali kaitannya dengan  kehidupan emosional.

Dalam hal ini kemampuan mengelola emosi perlu juga dimiliki oleh para hamba Tuhan/pendeta termasuk kepada jemaat  yang dipimpinnya. Mengapa? Karena dalam pelayanan, para hamba Tuhan/pendeta sama halnya dengan jemaat, menghadapi persoalan-persoalan yang berat dalam pelayanan. Para hamba Tuhan harus menampung persoalan-persoalan jemaat dan menolong jemaat untuk keluar dari permasalahan mereka, beban pelayanan pun menuntut waktu, tenaga dan pikiran cukup banyak. Selain itu hamba Tuhan harus memanage gereja dengan visi yang harus direalisasikan, belum lagi harus menyediakan waktu untuk keluarganya. Disinilah kemampuan mengelola emosi sangat dibutuhkan. Ketika seorang hamba Tuhan tidak mampu mengelola emosinya, maka kita akan mendapati seorang hamba Tuhan yang dikenal dengan “Pendeta yang suka marah-marah atau mudah meledak”, “hamba Tuhan yang mudah tersinggung”, “hamba Tuhan yang ringan tangan dan suka untuk memaki orang lain di depan orang banyak”, “hamba Tuhan yang ngambek”, “hamba Tuhan yang suka memukul meja atau berteriak saat rapat gereja atau rapat sinode (karena ketidakpuasan)” dan mungkin perilaku-perilaku impulsif yang lain. Sehingga tanpa kita sadari kita memasang label pada diri kita sendiri sehingga orang lain “memaklumi” dan tak jarang sedikit orang yang mau mendekat/bergaul.

Dalam pelayanan penggembalaan, seringkali menjumpai model/tipe jemaat, dan menariknya ada orang dengan model yang selalu dirudung masalah dan mereka sepertinya tidak mau keluar dari masalahnya. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tenggelam dalam permasalahannya sendiri dan seringkali mereka dikuasai atau dikendalikan oleh emosinya. Suasana hatinya telah mengambil alih kendali atas hidupnya. Kalimat  yang seringkali muncul adalah “saya tipe orang yang mudah bad mood”. Orang seperti ini tidak berupaya untuk keluar melepaskan diri dari suasana hatinya yang buruk. Dan biasanya orang seperti ini sangat sensitif, mudah marah, mudah untuk larut dalam kesedihan, tergantung perasaan/emosi apa yang sedang mengendalikan. Jika kita menemukan orang percaya seperti ini, tugas penggembalaan akan menjadi berat. Untuk itu orang-orang seperti ini harus diajar untuk membangun kemampuan mengelola emosi. 

Tidak ada yang salah dengan emosi karena emosi adalah netral dan Tuhan menciptakan emosi untuk kita bisa mengekspresikan perasaan/emosi kita kepada Tuhan dan sesama sehingga kita bukan robot. Berbagai macam emosi yang kita miliki inilah yang harus dikelola dengan baik, jika tidak emosi yang awalnya baik menjadi tidak baik. Sebagai contoh emosi kemarahan, tidak ada yang salah dengan marah karena dengan marah kita bisa mengungkapkan atau membaca sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak benar atau yang tidak adil. Tapi bila kita marah tanpa kita kelola dengan baik, maka hal itu akan merusak diri kita sendiri maupun orang lain. Untuk itu kita harus pintar mengelola emosi kemarahan dengan : kita harus marah dengan cara yang benar, pada waktu yang tepat, pada orang yang tepat dan dengan tujuan yang benar. Hal ini juga termasuk pada pengelolaan emosi-emosi lainnya.



Bagaimana saya memulainya untuk mengelola emosi saya?
·      Kenali diri kita sendiri.
Banyak orang berkata bahwa dia sudah kenal siapa dirinya bahkan berkata bahwa identitasnya adalah anak Allah. Hal ini benar, namun tidak cukup kita hanya cerdas secara spiritual saja namun kita juga harus cerdas secara emosi. Dalam mengenali diri kita yang perlu dikembangkan adalah kesadaran diri. Mengenali diri kita termasuk di dalamnya adalah bagaimana kita  memiliki kesadaran diri dan dalam kesadaran diri emosional inilah kita dibawa untuk mampu mengenali perasaan kita sewaktu perasaan itu terjadi. Saat kita marah, kita tetap ada dalam titik sadar, bahwa kita sedang marah dan bisa mengontrol respon langsung dari kemarahan tersebut.   

Kesadaran diri ini akan menolong kita mampu menggali dan menangani perasaan/emosi  kita agar dapat terungkap dengan pas (sesuai porsinya) tanpa menjadi kemarahan yang destruktif. Kesadaran diri menolong kita memantau perasaan kita dari waktu ke waktu sehingga kita memiliki pemahaman diri yang utuh. Kita bisa menjadi tuan atas semua perasaan/emosi kita dan bukan kebalikannya. Kesadaran diri  akan membuat seseorang berpikiran jernih sehingga mereka bisa membuat keputusan yang tepat, mengetahui batas-batas yang dia anut, dan tidak terperangkap pada suasana hatinya yang sedang jelek, dia mampu mengatur emosinya. 

Dalam membangun kesadaran diri inilah kita sangat membutuhkan peranan Roh Kudus untuk menyelidiki hidup kita, menyingkapkan apa yang masih tersembunyi, bahkan kita sendiri tidak tahu apa yang telah kita sembunyikan (mungkin luka-luka dari masa lalu kita atau emosi-emosi yang terpendam di alam bawah sadar kita). Karena emosi yang bergejolak di bawah ambang kesadaran kita dapat berpengaruh besar terhadap bagaimana kita menyerap dan bereaksi, meskipun kita tidak mengetahui betul bagaimana emosi bekerja. Dalam proses dimana Roh Kudus bekerja dengan mengingatkan, menyingkap, mengajar dan memulihkan kita (Yohanes 14:26), maka kita harus mengijinkan buah-buah Roh itu mulai muncul dalam diri kita, sehingga proses kedewasaan dan kematangan diri terbangun bukan saja dari sisi rohani saja tetapi juga emosi yang berpengaruh pada fisik kita. Ketika emosi tidak dikelola maka perilaku pun akan tidak terkendali.





Keuntungan ketika kita bisa mengelola emosi dengan baik:
Ada banyak keuntungan yang bisa kita nikmati ketika kita dapat mengelola emosi kita dengan baik. Dalam tulisan ini, hanya diuraiakan 4 keuntungan yang akan kita peroleh ketika kita dapat mengelola emosi kita:

·      Kita akan bisa berempati dengan orang lain. Kita akan mengenali emosi orang lain dan empati inilah yang membuat kita dapat melakukan hal-hal yang terbaik untuk orang lain. Kita akan mampu membaca dan menangkap sinyal-sinyal kebutuhan orang lain. Kita akan mampu memahami kondisi orang lain atau apa yang sedang orang lain rasakan, melalui respon emosi yang matang. Kita  tidak akan menghakimi kejatuhan atau kegagalan orang lain atau membicarakannya sebagai ‘hot issue’ untuk dikonsumsi orang banyak. Ketika ini terjadi, pelayanan gereja pastinya akan berkembang, jemaat akan dewasa/matang tidak hanya pada sisi rohnya saja tapi juga pada sisi emosinya. Saat jemaat bisa berempati, gereja akan menjadi komunitas orang percaya yang dapat membaca dan menjawab kebutuhan masyarakat. 

·      Kita akan mudah membangun relasi dengan orang lain. Orang yang mampu mengelola emosi tidak akan memaksakan kemauannya supaya orang lain menuruti keinginannya. Beberapa orang menjadi sulit dalam membangun relasi dengan orang lain, baik di dunia kerja, dalam keluarganya maupun dalam komunitas orang percaya (gereja). Hal ini terjadi karena mereka cenderung menyakiti/melukai orang lain. Penyebabnya adalah karena mereka mengalami ketumpulan perasaan dan mereka mengabaikan apa yang sedang dia rasakan maupun orang lain rasakan. Tidak sedikit kita jumpai beberapa kasus orang percaya yang suka berpindah-pindah gereja karena tidak pernah puas bahkan meninggalkan luka hati pada banyak orang percaya lainnya (meskipun ini bukan satu-satunya alasan), membuat gap/kelompok eksklusif di gereja, suka meremehkan orang lain/memandang rendah orang lain, tidak adanya rasa hormat ataupun kehangatan yang bisa diberikan bagi orang lain, berbicara tanpa dipikir sehingga melukai banyak orang, atau berteriak dan kehilangan kesabaran, mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain.

·    Kita akan mudah untuk bekerja sama dengan orang lain. Yesus memberikan nasehat kepada kita “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum taurat dan kitab para nabi.” (Matius 7:12). Memperlakukan orang lain dengan baik seperti kita juga mengharapkan perlakuan seperti itu juga, merupakan pedoman terbaik dalam membangun relasi dengan orang lain. Di sini kita bisa temukan bahwa ada sebuah kerja sama yang dibangun, harapan yang sama,  dan sebuah harmonisasi yang indah dalam sebuah relasi. Bagi orang yang mampu mengelola emosinya, untuk bekerja sama dengan orang lain bukanlah suatu hal yang sulit. Perbedaan bukanlah sebuah hambatan namun sebuah keindahan karena didalam perbedaanlah praktek kasih benar-benar terwujud. Dalam hal bekerja sama dengan orang lain, orang yang mampu mengelola emosinya akan menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan untuk menghormati orang lain. Kemampuan menghormati orang lain datang dari penghormatan kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain, bahwa orang yang gagal menghormati orang lain, sebenarnya mereka sedang gagal menghormati dirinya sendiri. 

    Menghormati dan menghargai diri sendiri dimulai dari kemampuan mengelola emosinya. Dan dari sikap menghormati dan menghargai dirinya sendiri, melahirkan sikap yang mau bekerja sama dengan orang lain. Saya pernah mendengar seorang pendeta berkata, “wah, saya bersyukur, jemaat yang suka memberontak, susah dipimpin akhirnya keluar dengan sendirinya dari gereja yang saya gembalakan.” Orang yang suka memberontak, sulit diatur, suka memaksakan kehendak dan keyakinannya yang paling benar, tidak memberikan kesempatan orang lain berkembang adalah orang yang tidak mampu mengelola emosinya dengan baik.

·     Menjadi pribadi-pribadi yang sehat dan unggul. Saat kita mampu mengelola emosi kita dengan baik, maka dengan sendirinya kita akan menjadi cerdas secara emosi. Cerdas secara emosi bukan berarti tidak pernah mengalami ketakutan, kesedihan, kemarahan, maupun emosi lainnya. Kita bisa mengalami semua emosi tersebut tapi kita lebih mampu menenangkan diri kita sendiri, bangkit dari kemurungan dan melanjutkan kegiatan-kegiatan yang produktif. Untuk itulah orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan memudahkan dirinya dalam menggali/mengeksplorasi potensi dalam dirinya. Dengan kata lain, melalui kecerdasan emosi maka seseorang akan tertolong menjadi maksimal dengan hidupnya dan ini pun tetap di dukung oleh kecerdasan intelektual, spiritual, sosial maupun kecerdasan lainnya. 

   Orang yang mengelola emosinya akan mampu melewati setiap krisis-krisis yang terjadi dalam kehidupannya dengan baik. Dia memiliki daya juang yang tinggi ketika kesulitan menekan dirinya. Dia tidak akan terperangkap dalam bentuk-bentuk “pelarian” atau “kecanduan”. Bahkan pada masa kegagalan sekalipun, dia akan cepat untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya kembali. Orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik, akan bisa melawan setiap godaan untuk terlibat dengan narkoba, free sex, bunuh diri, tindakan anarkis, dll. Mereka juga akan mampu membuat “penundaan atas kepuasan dari keinginan-keingin mereka”, contoh: mereka akan mampu menolak melakukan hubungan seks sebelum waktunya. Kalau dia masih anak-anak, dia akan rela menunggu membeli  barang yang diinginkan sampai orangtuanya  memiliki uang untuk membeli. 

Melihat dari betapa pentingnya mengelola emosi, maka sebenarnya orang percaya/umat Tuhan harusnya diajar tentang hal kecerdasan emosi bukan “hanya” kecerdasan spiritual saja. Melihat kondisi maupun situasi tahun-tahun yang akan datang semakin sulit, orang-orang percaya akan dibawa pada pergulatan dalam arena kehidupan mereka, maka kecerdasan emosi akan ikut memainkan peranan penting dalam hidup mereka selain mereka harus cerdas secara spiritual, intelektual, dan sosial tentunya.


Referensi:
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia, 2007
Gottman, John & DeClaire, Joan. Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak. Jakarta: Gramedia, 2008.
Patton, Patricia. Kecerdasan Emosional Membangun Hubungan. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1998




Rabu, 19 Desember 2012

Kebahagiaan Anak-Anak





Kebahagiaan merupakan sesuatu yang sulit untuk dinikmati hari-hari ini, ditengah persoalan manusia yang kompleks. Semua orang merindukan kebahagiaan namun faktanya tidak semua orang mengalami kebahagiaan justru kehancuran. Maka, tidak jarang kita menemukan adanya fakta keluarga yang bercerai, berbagai macam bentuk kecanduan yang mengendalikan beberapa orang; narkoba, judi, alkohol, pornografi, dll. Unikanya usia orang yang mengalami ketidakbahagiaan tidak hanya usia dewasa tapi juga dialami oleh usia anak-anak.  Kita bisa membaca berita anak-anak yang menjadi korban perceraian, korban perdagangan manusia, anak-anak yang hidup di jalanan sebagai pengemis, pengamen, anak yang menjadi korban kekerasan orangtua, anak yang menjadi korban aborsi atau kelahirannya tidak dikehendaki, dan berbagai macam bentuk perlakuan pada anak, yang mana telah menendang jauh kebahagiaan dari kehidupan anak-anak, yang sebenarnya merupakan hak anak untuk bahagia. 

Seberapa pentingkah pengaruh kebahagiaan pada masa kanak-kanak? Hurlock (1992), memandang masa kanak-kanak yang bahagia sangat penting untuk perkembangan masa selanjutnya. Menurut Riana Mashar[1] dalam tulisannya bahwa "Ketidakbahagiaan dapat membahayakan penyesuaian pribadi dan sosial anak. Sebaliknya kebahagiaan mempengaruhi sikap, perilaku dan kepribadian mereka." Selanjutnya  Riana menyebutkan beberapa pengaruh kebahagiaan  untuk penyesuaian masa kanak-kanak, yaitu:
  1. Anak yang bahagia biasanya sehat dan energik, tetapi anak yang tidak bahagia biasanya lebih rendah kesehatannya.
  2. Anak yang bahagia memiliki kegiatan yang bertujuan, namun yang tidak bahagia banyak menghabiskan waktu untuk melamun, berpikir yang sedih-sedih dan menyesali diri.’
  3. Kebahagiaan juga mewarnai wajah anak dengan ekspresi gembira. Orang menanggapi secara positif terhadap kegembiraan, dan secara negatif terhadap ekspresi kemurungan.
  4. Kebahagiaan membekali anak dengan motivasi kuat untuk melakukan sesuatu, sedangkan ketikdakbahagiaan membekukan motivasi
  5. Anak yang bahagia menerima kekecewaan secara lebih tenang dan mencoba memahami alasannya. Anak yang tidak bahagia bereaksi dengan ledakan amarah dan tidak berusaha mempelajari kekecewaan yang dialami.
  6. Kebahagiaan mendorong hubungan sosial dan keikut-sertaan dalam kegiatan sosial sedangkan ketidakbahagiaan mendorong anak untuk mundur dan berorientasi pada diri sendiri.
  7. Masa kanak-kanak yang bahagia merupakan dasar untuk keberhasilan di masa dewasa, sedangkan ketidakbahagiaan meletakkan dasar untuk kegagalan.



Dari uraian di atas, kita bisa melihat betapa kebahagiaan menjadi sebuah kebutuhan yang harus dialami oleh setiap anak. Saya menyadari bahwa semua orang menginginkan kebahagiaan namun tidak semua orang bisa mewujudkannya. Semua anak menginginkan mereka menjadi bahagia dan mereka membutuhkan peran orangtua mereka. Memang tidak ada ukuran yang pasti mengenai kebahagiaan, tapi beberapa orang memberikan ukuran yang salah untuk kebahagiaan, dimana mereka  berpikir ketika anak-anak diberi fasilitas yang komplit, kartu kredit, mainan yang canggih, atau yang lainnya, mereka akan bahagia. Kita memang membutuhkan materi, namun materi bukanlah penentu utama kebahagiaan. Peran orangtualah yang menentukan kebahagiaan anak-anak dan tulisan ini hanya menyoroti kebahagiaan dari sisi peran orangtua. Masih ada banyak penentu kebahagiaan anak yang menjadi pendukung peran orangtua. Bagi anak-anak, mereka akan menikmati kebahagiaan jika ...

  • Asupan gisi atau kebutuhan mendasar dari fisik mereka terpenuhi. Anak-anak dapat menikmati makanan dan minuman yang sehat yang mendukung pertumbuhan fisik mereka. Hal ini tidak membuat mereka menjadi sakit-sakitan dan tidak membuat mereka harus beristirahat panjang hanya karena kekurangan gisi dan rentan sakit. Mereka juga dapat mengenakan pakaian yang pantas dan layak pakai (bersih, sesuai ukuran badan dan jenis kelamin, tidak harus mahal dan bermerk). Peran orangtua untuk bertanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan mendasar ini sangat berpengaruh.
  • Orangtua mereka saling mencintai. Keharmonisan perkawinan orangtua memiliki dampak psikologis yang kuat bagi anak-anak. Hal yang paling ditakuti oleh anak-anak adalah perceraian orangtua mereka. Yang sering tidak disadari oleh pasangan yang bercerai adalah bahwa dalam hal perceraian selalu yang menjadi korban dari keegoisan mereka adalah anak-anak. Anak-anak menjadi malu, diam, pasif, murung, dan merasa dirinya buruk memiliki orangtua yang bercerai. Menurut Nilam Widyarini, bahwa anak korban perceraian terutama yang sudah berusia sekolah atau remaja, biasanya merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian perceraian tersebut.  Mereka juga merasa khawatir terhadap akibat buruknya yang akan menimpa mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya kecemasan yang amat sangat terhadap kehidupan masa kini dan di masa depan. Anak-anak yang ayah ibunya bercerai sangat menderita dan mungkin lebih menderita dari pada orangtuanya sendiri.[2] Meskipun orangtua mencoba memperkecil resiko dari perceraiannya dengan hati-hati dan damai, namun akan tetap ada dampak negatif dari peceraian. Dalam keharmonisan perkawinan orangtua, anak-anak selain menikmati kebahagiaan, mereka juga belajar tentang membangun relasi yang baik, penghargaan terhadap orang lain, manajemen konflik yang benar. Ketika orangtua mereka saling mencintai, rumah akan menjadi tempat teraman bagi anak-anak.
  • Orangtua mau menerima mereka apa adanya. Sebuah penerimaan merupakan hal yang penting bagi anak dan juga bagi orang dewasa.  Penerimaan keberadaan anak tanpa syarat, termasuk di dalamnya adalah pemberian penghargaan, pujian, kehangatan, dll. Jika anak  mendapat penghargaan tapi bersyarat, maka anak akan cenderung mengalami kecemasan karena anak akan menuntut dirinya sesuai tuntutan dari lingkungan dan membuat anak tidak dapat berekspresi apa adanya. Orangtua yang selalu menuntut kesempurnaan atas prestasi anak akan membuat anak selalu merasa dituntut untuk melakukan yang terbaik. Ketika anak tidak mencapai apa yang menjadi tuntutan dari orangtuanya, dia akan merasa bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri, merasa gagal. Atmosfir penerimaan tanpa syarat akan membentuk rasa aman dan nyaman bagi anak. Bahkan pada saat anak gagal, atmosfir penerimaan dalam keluarga akan membuat anak bisa belajar untuk bangkit dari kegagalan. Penerimaan orangtua juga terlihat dengan tidak adanya perbedaan perlakuan terhadap anak sulung, anak tengah dan anak bungsu. Tidak ada istilah “anak emas” atau perbandingan. Penerimaan orangtua terhadap anak-anaknya akan memperkuat relasi orangtua dengan anak, maupun anak-anak dengan saudara kandungnya. Dalam penerimaan tanpa syarat, perlunya orangtua menyatakan melalui bahasa cinta anak : kata-kata penguat/pujian, kualitas waktu/kebersamaan, pelayanan, hadiah, sentuhan fisik. Melalui bahasa cinta ini (meskipun tidak semua anak akan sama bahasa cintanya), namun anak akan merasa dicintai dan diterima jika orangtua berkomunikasi lewat bahasa cinta mereka.
  • Orangtua yang memberikan aturan atau disiplin yang sesuai dengan porsi /sesuai tahapan usia anak. Aturan atau disiplin yang berlebihan membuat anak menjadi cemas atau ketakutan jika mereka membuat kesalahan. Sehingga hal ini akan membawa anak pada sikap apatis, tidak mau mencoba hal-hal baru karena takut membuat kesalahan. Seringkali orangtua juga memberikan kritik yang tidak membangun dan merendahkan sebagai bagian dari disiplin mereka, sehingga anak menjadi tertolak dan terluka.
  • Orangtua yang memberikan contoh teladan hidup yang benar. Dalam keteladanan orangtua, anak dapat belajar bagaimana mereka harus hidup di dunia yang kompleks namun tetap ada dalam nilai-nilai yang benar. Keteladanan memberikan arahan kepada anak apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana mereka harus hidup dalam prinsip kebenaran meskipun ada resiko. Dari keteladanan anak juga belajar tentang hidup yang berintegritas dan konsisten. Yang sering menjadi persoalan bagi anak-anak adalah bagaimana mereka melihat orangtua mereka tidak konsisten dengan perkataan maupun perilaku mereka. Orangtua yang tidak konsisten antara perkataan dan perbuatannya, akan membuat anak-anak merasa tidak nyaman.
  • Orangtua yang memiliki spiritualitas dan keimanan yang kuat. Keyakinan spiritualitas akan memberikan pegangan bagi anak dalam meresponi tantangan hidup. Hal ini juga dapat menjadi sandaran bagi anak-anak ketika mereka mengalami  kesulitan hidup. Orangtua yang memiliki spiritualitas dan keimanan yang kuat akan membuat anak-anak merasa aman di tengah dunia yang tidak aman. Anak-anak akan hidup dalam iman yang telah ditanamkan oleh orangtua dalam diri mereka. Mereka bukan sekedar beragama tapi mereka menghidupi apa yang mereka yakini dan berjalan dalam kehendak Tuhan.

Kekokohan keluarga akan membuat keluarga menjadi tempat yang nyaman dan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan emosi maupun fisik serta spiritual anak-anak. Ditengah serangan dan keadaan degradasi moral generasi, keluarga harus menjadi tempat teraman bagi anak-anak. Kebahagiaan anak dan peran orangtua dalam membesarkan anak-anak saling berkaitan. Mari wujudkan keluarga yang bahagia karena dari situlah anak-anak akan menikmati kebahagiaan di masa depannya. Selamat menjadi orangtua yang senantiasa menghadirkan kebahagiaan bagi anak-anak.





PUSTAKA :

[1] Mashar Riana, Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya, Jakarta:Kencana Prenada Media, 2011, h.70
[2] Widyarini, Nilam M.M, Relasi Orangtua dan Anak.Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009, h.35